Benci
Cintaimu
“Cie.. Yang lagi jatuh
cinta.. bawaannya seneng terus tuh. Kalau begini terus tiap hari, aku bisa
sedikit menghemat uang jajan nih. Makasih ya, Cha. Sering-sering aja deh jatuh
cinta, biar aku ditraktir terus.” Ucap Zia seraya membawa sepiring nasi goreng
dan duduk di sebelah Icha.
“Apaan sih Zi! Aku
traktir kamu tuh, karena kemarin aku habis dapet untung lebih dari bisnis kue
punyaku.” Sahut Icha sedikit kesal.
Begitulah sikap Icha
belakangan ini. Sudah dua bulan terakhir Icha terlihat begitu bahagia.
Kadang-kadang Icha bisa tersenyum sendiri atau yang lebih parahnya dia terlihat
seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru. Hal ini kerap terjadi
saat Icha mendapat pesan singkat di handphonenya. Siapa lagi kalau bukan dari pujaan
hatinya, Beni.
Beni adalah salah satu
mahasiswa yang cukup aktif di kampus. Orangnya sih nggak ganteng-ganteng amat.
Entah dari segi apa, Icha mengaguminya. Mungkin dari lesung pipit di pipi
sebelah kanan Beni yang selalu hadir disetiap senyumnya. Sedangkan Icha, hanya
sekedar kenal dan kebetulan juga menjadi teman terdekat Beni saat ini, yang
hanya mampu mengagumi Beni dari jauh saja. Prinsip Icha, nggak akan bilang suka
sama cowok kalau belum cowok itu sendiri yang bilang suka sama Icha.
***
“Ih… Cha! Ngapain kamu
senyum-senyum sendiri gitu? Udah mirip kaya orang gila tau!” Kata Zia.
“Bodo amat! Emang gue
pikirin. Hmm.. Kamu tau nggak Zi? Ter…” belum sempat Icha menyelesaikan
ucapannya, Zia langsung memotongnya.
“Ya nggak lah. Kamu
belum cerita kan?”
“Ini baru mau
diceritain tante! Makanya dengerin dulu dong.”
“Oke.”
“Zi, barusan aku dapet
sms dari Beni. Dia bilang besok mau ketemu sama aku. Wah, jangan-jangan besok
Beni nembak aku lagi. Duuh… Deg degan deh rasanya”
“Ugh, kirain mau cerita
apaan. Ternyata, cuma cerita tentang Beni lagi? Kamu kok bisa seneng banget
gitu sih Cha. Kayak baru sekali aja suka sama cowok. Aku saranin jangan
kepedean dulu deh, Cha. Takutnya nanti kamu malah sakit hati.”
“Masalahnya, bukan kali
keberapa aku suka sama cowok, Zi. Tapi Beni tuh beda sama cowok lain. Rasanya
adem banget kalau deket sama dia.”
“AC kali, adem. Ya udah
deh, aku udah nggak bisa ngelarang kamu kalau kamu udah bilang kayak gitu. Yang
penting, kamu nggak usah terlihat oversalting
dong kalau sama lagi sama dia. Norak tau!”
“Oke. Siap Zia sayang…”
Dan saat itu pun tiba.
Icha terlihat sedang menunggu seseorang sambil ngemil di koridor kampus. Tiga
menit, lima menit, sepuluh menit. Orang yang ditunggu-tunggu tak kunjung
datang. Makanan kecil yang dibelinya di kantin juga sudah habis lima menit yang
lalu. Icha kembali melihat jam tangannya. Sebel. Udah hampir limabelas menit
Icha menunggu. Padahal Icha paling benci sama yang namanya menunggu. Kalau
bukan karena ajakan dari Beni, Icha mana mau nunggu segitu lamanya. Yang ada,
Icha malah pulang sebelum orangnya datang.
“Inget Cha, yang mau
ketemu sama kamu tuh Beni. So, yang sabar yaa… Huft.” Gumamnya.
Tak berapa lama
kemudian, terlihat sosok pria yang berlari menuju ke arahnya. Icha sontak
langsung berdiri. Bersiap Icha mengeluarkan jurus ngomel andalannya. Kamu niat
mau ketemu sama aku nggak sih? Kamu sendiri kan tahu kalau aku tuh paling benci
sama yang namanya nunggu. Ini namanya udah buang-buang waktu tau! Namun sayang,
sebelum kata-kata itu terlontar dari mulutnya, Beni sudah ngomong duluan.
“Cha, sory banget deh.
Aku baru dapet musibah nih!” Kata Beni sambil mengatur napasnya yang hampir
putus itu. Mendengar Beni mengatakan berita itu, muka Icha mendadak berubah.
“Tenang Ben, tenang.
Emang musibah apaan?”
“Kaos seragam temenku
yang dititipin ke aku hilang. Mungkin aku lupa naruh aja. Tapi semua udah aku
cari, dan kaos itu tetep nggak ada, Cha.”
“Beneran udah kamu cari
kan? Terus gimana dong. Aku mana tau kaos yang kamu maksud itu.”
“Udah, Cha. Semua udah
aku cari. Sampai ke kamar adikku aja udah aku berantakin. Kalau boleh, aku mau
minta tolong nih sama kamu, Cha.”
“Tolong apa?”
“Besok temenin aku buat
kaos yang sama ya. Please……”
“Hah?! Maksudmu. . .
Emang seberapa pentingnya sih tu kaos?”
“Penting banget, Cha.
Kaos itu kostum buat lomba, Cha. Sumpah deh, oon banget aku tuh. Aku ngerasa
bersalah banget.”
“Hmm. Oke deh. Tapi
jangan sampai telat kayak tadi lagi yaa.”
***
Siang yang panas. Bisa
jadi, terik matahari siang ini bisa ngeringin cucian dalam waktu lima menit
saja. Tapi, lebih tepatnya ngeringin hati Icha yang makin lama makin gersang
karena kegalauannya.
“Tumben sekarang agak
diem, Cha? Biasanya aja udah cengar-cengir. Kemarin, Beni jadi nembak kamu
nggak?” Tanya Zia.
“Boro-boro nembak.
Nanyain kabarku aja nggak sempat. Huft . . . Nanti sepulang kampus Beni
ngajakin aku pergi lagi, Zi. Waktu kemarin Beni ngajak sih, aku seneng banget.
Tapi kenapa sekarang aku jadi ragu ya?” Ujar Icha sambil memainkan rambutnya
yang panjang dan bergelombang itu.
“Tuh kan, bener.
Makanya kamu jangan kepedean dulu deh, Cha. Aku mencium bau-bau nggak serius
nih dari sikapnya Beni. Ya ya ya. Walaupun dia emang pujaan hati kamu,
sebaiknya kamu tetap berhati-hati. Jangan sampai kamu cuma dijadikan
pelampiasan aja buat dia, Cha. Aku pernah denger dari seseorang, kalau Beni tuh
sayang banget sama mantan ceweknya yang masih anak SMA itu. Tapi sayang,
ceweknya itu minta putus.”
“Iya juga sih Zi.
Mungkin aja Beni emang lagi kesepian. Terus, kenapa mesti ngajakin aku sih,
kalau cuma mau dijadiin pelampiasan doang? Kenapa nggak dijadiin cewek barunya
sekalian? Kan nanggung banget, Zi.”
“Ah. . . Kamu. Namanya
juga cowok Cha. Lagian terserah dia juga lagi, mau milih siapa. Semoga aja deh
firasatku ini salah. Keep your spirit buat ngedapetin hati Beni aja ya, Cha.
Sebagai seorang sahabat, aku selalu dukung keputusan kamu, asalkan itu terbaik
buat kamu.”
“Thank you soo much,
Zia.”
***
Damn,
damn, damn…What I'd do to have you…Here, here, here…(I wish you were here).
Sebuah reff lagu kesukaan Icha saat ini, terdengar jelas. Ternyata, ada pesan
dari Beni.
“Km dah siap blm? AKU
tnggu dpn gerbng sklh”
Hati Icha semakin
berdegub kencang tidak karuan. Pengen sih pergi berdua sama Beni. Tapi, apakah
memang benar, Beni hanya menjadikannya sebagai pelampiasan saja? Huft.
Pertanyaan itu sekarang berputar-putar di pikiran Icha. Dengan langkah gontai,
Icha bergegas menuju ke gerbang kampus menemui pujaan hatinya.
“Udah siap?!” Kata Beni
setibanya Icha di gerbang.
“Udah. Berangkat
sekarang aja yuk.”
Icha melangkahkan
kakinya dan duduk di boncengan motor Beni.
“Pegangan aja kali,
Cha. Aku kalau naik motor suka ngebut. Ntar jatoh lho.”
Kata-kata barusan.
Cukup membuat napas Icha berhenti sejenak. Glek…! Icha menelan ludahnya seraya
memastikan apa yang didengarnya itu tidak salah.
“Beneran nggak pa-pa
nih? Aku takut ada yang marah.”
“Nggak pa-pa. Nggak kan
ada yang marah.”
Bersamaan dengan
ucapannya yang terakhir, motor Beni pun melaju dengan kencang.
Kencangnya motor yang
dipacu oleh Beni, membuat angin-angin kecil memainkan rambut Icha yang
bergelombang itu. Mengibas-ngibas tak beraturan. Kehangatan yang dirasakan Icha
melebur dalam pelukan ke pujaan hatinya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya di
benak Icha untuk bersama dengan Beni sedekat ini. Setiba di tempat yang
dimaksud, keduanya turun dari motor dan masuk menuju tempat itu.
“Masih siang nih, Cha.
Makan dulu yuk.” Ajak Beni.
“Hah?! Sekarang?
Berdua?”
“Ya iyalah. Masa
bertiga. Emang mau sama siapa lagi, nggak mungkin juga kan motorku ikutan
makan.”
“Hehe. . . iya juga
sih. Ternyata kamu orangnya lucu juga ya. Kalu gitu, makan di tempat biasa aku
makan aja yuk.”
“Oke”
Icha terpana. Senyum
bahagia merekah di wajah Icha. Hari itu tak mungkin ia lupakan begitu saja.
Icha pun semakin yakin dan menaruh harapan kepada Beni. Beni juga terlihat
nyaman berada dekat Icha. Jauh dalam lubuk hati Icha mengatakan, agar saat-saat
seperti ini bisa terulang kembali. Berita kedekatan mereka berdua, tak lama
menyebar seantero kampus. Ada yang bilang mereka berdua sudah jadian, ada yang
bilang cuma deket doang, ada juga yang bilang kalau mereka berdua cuma cari
sensasi aja.
***
“Hai, Ben! Tunggu!”
panggil Icha setengah berteriak. Aneh. Sikap Beni barusan tak seperti biasanya.
Jelas-jelas Icha memanggilnya. Tetapi, jangankan menyahut. Sekedar nengokin
kepala aja kayaknya nggak. Apa yang terjadi sesungguhnya dengan Beni? Icha
mulai larut dalam kegalauan.
Sehari.
Dua hari.
Tiga hari.
Risau di hati Icha
semakin berat. Beni yang tadinya sering muncul karena aktifitasnya di berbagai
organisasi, sekarang sudah jarang terlihat. Teman-teman dekat Beni pun sekarang
juga jarang melihatnya. Hanya ada saat kuliah, selepas itu entah hilang kemana.
Waktu luang menunggu kuliah selanjutnya pun dia mengilang. Pernah melintas di
pikiran Icha, jangan-jangan Beni adalah jelmaan drakula atau sejenisnya. Tapi,
adalah hal bodoh jika Icha berani mengatakannya. Lalu, dimana Beni?
Kuliah hari ini usai.
Sengaja Icha bergegas menuju gerbang kampus, berharap bisa bertemu pujaan
hatinya. Benar saja, tak lama setelah itu Beni lewat di depan mata Icha.
“BEN! Tunggu!”
“Ya, Cha. Kenapa?” beni
langsung menghentikan laju motornya.
“Kamu kemana aja sih?
Jarang keliatan di kampus. Di sms juga nggak pernah dibales.” Tanya Icha agak
sebel.
“Nggak pa-pa, Cha. Lagi
ada sedikit urusan aja. Oh iya maaf, kemarin aku nggak sempat membalas sms
darimu yang berkali-kali itu. Kamu kangen ya?”
Mendadak wajah Icha
berubah. Icha terlihat agak sedikit gelagapan dengan apa yang dikatakan Beni
barusan. Karena Icha memang merindukan Beni.
“Emm… Ng… Nggak kok.
Cuma nanya aja. Kamu sih… susah banget dihubungin. Anak-anak pada nanyain tau!”
“Hehehe… calon artis
emang susah dihubungi, Cha. Oke, aku mau pulang dulu ya. Bye…, Cha.”
“Bye, Ben.” Sahut Icha
bersamaan dengan perginya Beni, melesat jauh meninggalkannya.
Tiba-tiba terdengar
suara melengking dari arah belakan Icha. Huft, merusak suasana saja. Icha
langsung menoleh ke belakang, dan ternyata itu Zia.
“Please deh Cha.
Kayaknya kamu emang harus ngelupain Beni sekarang.” Kata Zia.
“Aku nggak ngerti
maksud kamu Zi. Katamu, kamu akan selalu dukung keputusanku.”
“Asalkan itu baik
buatmu, Cha. Tapi yang kali ini nggak. Beni nggak pantes buat kamu. Kamu
terlalu baik buat dia, Cha.”
“Aku masih nggak
ngerti, Zi. Apa alasanmu melarangku? Jangan karena aku suka dengan Beni, terus
kita jadi musuhan Zi. Kamu suka ya sama Beni?”
“Nggak Cha. Nggak
mungkin aku mengkhianati sahabatku sendiri. Sekarang coba kamu lihat catatan di
facebook Beni.
Seketika itu juga Icha
mengeluarkan laptopnya dan membuka facebook. Alangkah terkejutnya Icha saat
membaca yang dikatakan Zia tadi. Seperti ada yang menusuk hatinya, setelah itu
dikoyak-koyak sehingga hati itu luluh lantak. Dan yang paling parahnya lagi,
tulisan itu bukan untuk Icha.
Kok
aku merasa nggak dianggap sama kamu. Aku mau selalu ada disaat kamu butuh tapi nggak bisa. Aku coba
selalu dekati, juga tetap tak bisa. Kalau memang ada yang salah, aku harap kamu
jujur kepadaku. Jika ada yang harus aku rubah dari sikapku, kumohon bicara
padaku. Tapi jangan sampai kau mempermainkanku. Aku memang terlihat tegar &
selalu ceria. Karena hanya dengan itu aku bisa menghilangkan kesepian saat kau
tak ada di sampingku. Aku hanya menunggu sms darimu aja susah banget. Aku emang
tukang ngeluh. Emang sih, cowok harus ngertiin cewek. Tapi cowok ada kalanya
pengen dimengerti.
Aku
susah ngelupain kamu. Aku pernah deket cewek lain, tapi hanya ku anggap teman.
Walaupun cewek itu maunya jadi cewekku. Tapi aku udah mentok di kamu Verda Ayunda.
Kamu
memang cantik, imut, manis dan pinter bikin aku cemburuan. Yang jelas aku
ngerasa bahagia di dekatmu. Walapun aku bisa bertemu dengan kamu, tapi itu
jarang. Sebulan sekali aja udah beruntung banget. Inget janjimu dulu? Ahh tapi
kamu pelupa banget. Pengen aku tulis di jidatmu yang lebar itu pakai spidol
biar kamu inget.
Kamu
tu aneh. Aku cuma mau bantuin kamu tapi kenapa nggak boleh? Padahal aku bisa
bantu orang lain, giliran kamu, kok nggak bisa? Apa salahku sampai terjebak
dalam hal seperti ini. Selalu gagal dalam masalah cinta, cewek dan sejenisnya. Aku
gak bisa bedain sayang, suka, cinta, kasih sayang & kata-kata sejenis.
Perlu banyak kursus tentang itu.Ibarat kata nih ya, aku udah kehabisan jalan.
Sampai di ujung jurang tinggal terjun aja ke situ. Mati aja sana, Ben!
Pernah
aku berpikir buat lari dari kamu. Tapi ada sesuatu yang menahanku untuk tetap
diam menunggumu & mencoba mendapatkan dirimu kembali seperti saat pertama
kita berjumpa dulu. Ver, aku ingin katakan kepadamu “Mau gak kamu jadi
pendamping hidupku, bukan hanya jadi pacarku” Tapi entah kapan aku bisa
mengucapkannya.
Semoga
penantian aku selama ini nggak sia-sia. Kamu segalanya bagiku setelah
keluargaku. Kamu adalah cinta pertama dan semoga jadi yang terakhir. Itu yang
kumau, semoga kamu tau isi hatiku Ver. Maaf bukannya cengeng. Tapi kata temenku
nggak boleh mendem unek-unek. Kalau unek-unek dipendem tuh jadi jerawat, bisa
juga bisul. Ya jangan dong, tambah lengkap aja penderitaanku. Keep spirit moga
masa depan menanti.
Sikap Beni akhir-akhir
ini dan catatannya cukup membuat perasaan Icha sangat sedih. Icha mulai
mengerti bahwa Beni tak benar-benar mencintainya. Mulai saat itu, rasa cinta
dalam hati Icha seketika berubah menjadi benci. Icha berusaha menghilangkan
semua kenangan dan bayang-bayang Beni dari memorinya. Sedikit menyesali telah
membuang waktunya hanya untuk mencintai Beni, yang jelas-jelas sama sekali
tidak mencintainya. Kini Icha larut dalam kebenciannya. Semua yang pernah dia
lakukan bersama Beni hanya dianggap angin lalu. Seakan-akan Icha masuk dalam
permainan Beni untuk menjatuhkannya. Sepertinya Beni tahu jika Icha begitu
mencintainya sehingga Beni mempermainkan perasaan Icha.
***
Sebulan berlalu setelah
kejadian itu. Pagi ini, tidak sengaja Icha yang saat itu sedang menuju ruang
dosen bersama Zia, berpapasan dengan Beni. Tiba-tiba dengan ramah Beni menyapa.
“Hey, Cha. Kemana aja
nggak pernah kelihatan?”
“Terus,,, masalah buat
lo?!” Sahut Icha jutek sambil sedikit terkekeh.
“Kok kamu judes sih
sekarang sama aku?” tanya Beni heran.
Tanpa berkata apapun
Icha dan Zia meninggalkan Beni. “Baru nyadar kalau aku jutek sama kamu? Tanpa
kata maaf kamu mendekatiku lagi, setelah
apa yang kau lakukan kemarin? Sekarang tidak lagi! Aku benci kamu Ben.”
Gumamnya dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar