Sabtu, 08 September 2012

Cerpen Aku


Benci Cintaimu
“Cie.. Yang lagi jatuh cinta.. bawaannya seneng terus tuh. Kalau begini terus tiap hari, aku bisa sedikit menghemat uang jajan nih. Makasih ya, Cha. Sering-sering aja deh jatuh cinta, biar aku ditraktir terus.” Ucap Zia seraya membawa sepiring nasi goreng dan duduk di sebelah Icha.
“Apaan sih Zi! Aku traktir kamu tuh, karena kemarin aku habis dapet untung lebih dari bisnis kue punyaku.” Sahut Icha sedikit kesal.
Begitulah sikap Icha belakangan ini. Sudah dua bulan terakhir Icha terlihat begitu bahagia. Kadang-kadang Icha bisa tersenyum sendiri atau yang lebih parahnya dia terlihat seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru. Hal ini kerap terjadi saat Icha mendapat pesan singkat di handphonenya. Siapa lagi kalau bukan dari pujaan hatinya, Beni.
Beni adalah salah satu mahasiswa yang cukup aktif di kampus. Orangnya sih nggak ganteng-ganteng amat. Entah dari segi apa, Icha mengaguminya. Mungkin dari lesung pipit di pipi sebelah kanan Beni yang selalu hadir disetiap senyumnya. Sedangkan Icha, hanya sekedar kenal dan kebetulan juga menjadi teman terdekat Beni saat ini, yang hanya mampu mengagumi Beni dari jauh saja. Prinsip Icha, nggak akan bilang suka sama cowok kalau belum cowok itu sendiri yang bilang suka sama Icha.
***
“Ih… Cha! Ngapain kamu senyum-senyum sendiri gitu? Udah mirip kaya orang gila tau!” Kata Zia.
“Bodo amat! Emang gue pikirin. Hmm.. Kamu tau nggak Zi? Ter…” belum sempat Icha menyelesaikan ucapannya, Zia langsung memotongnya.
“Ya nggak lah. Kamu belum cerita kan?”
“Ini baru mau diceritain tante! Makanya dengerin dulu dong.”
“Oke.”
“Zi, barusan aku dapet sms dari Beni. Dia bilang besok mau ketemu sama aku. Wah, jangan-jangan besok Beni nembak aku lagi. Duuh… Deg degan deh rasanya”
“Ugh, kirain mau cerita apaan. Ternyata, cuma cerita tentang Beni lagi? Kamu kok bisa seneng banget gitu sih Cha. Kayak baru sekali aja suka sama cowok. Aku saranin jangan kepedean dulu deh, Cha. Takutnya nanti kamu malah sakit hati.”
“Masalahnya, bukan kali keberapa aku suka sama cowok, Zi. Tapi Beni tuh beda sama cowok lain. Rasanya adem banget kalau deket sama dia.”
“AC kali, adem. Ya udah deh, aku udah nggak bisa ngelarang kamu kalau kamu udah bilang kayak gitu. Yang penting, kamu nggak usah terlihat oversalting dong kalau sama lagi sama dia. Norak tau!”
“Oke. Siap Zia sayang…”
Dan saat itu pun tiba. Icha terlihat sedang menunggu seseorang sambil ngemil di koridor kampus. Tiga menit, lima menit, sepuluh menit. Orang yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Makanan kecil yang dibelinya di kantin juga sudah habis lima menit yang lalu. Icha kembali melihat jam tangannya. Sebel. Udah hampir limabelas menit Icha menunggu. Padahal Icha paling benci sama yang namanya menunggu. Kalau bukan karena ajakan dari Beni, Icha mana mau nunggu segitu lamanya. Yang ada, Icha malah pulang sebelum orangnya datang.
“Inget Cha, yang mau ketemu sama kamu tuh Beni. So, yang sabar yaa… Huft.” Gumamnya.
Tak berapa lama kemudian, terlihat sosok pria yang berlari menuju ke arahnya. Icha sontak langsung berdiri. Bersiap Icha mengeluarkan jurus ngomel andalannya. Kamu niat mau ketemu sama aku nggak sih? Kamu sendiri kan tahu kalau aku tuh paling benci sama yang namanya nunggu. Ini namanya udah buang-buang waktu tau! Namun sayang, sebelum kata-kata itu terlontar dari mulutnya, Beni sudah ngomong duluan.
“Cha, sory banget deh. Aku baru dapet musibah nih!” Kata Beni sambil mengatur napasnya yang hampir putus itu. Mendengar Beni mengatakan berita itu, muka Icha mendadak berubah.
“Tenang Ben, tenang. Emang musibah apaan?”
“Kaos seragam temenku yang dititipin ke aku hilang. Mungkin aku lupa naruh aja. Tapi semua udah aku cari, dan kaos itu tetep nggak ada, Cha.”
“Beneran udah kamu cari kan? Terus gimana dong. Aku mana tau kaos yang kamu maksud itu.”
“Udah, Cha. Semua udah aku cari. Sampai ke kamar adikku aja udah aku berantakin. Kalau boleh, aku mau minta tolong nih sama kamu, Cha.”
“Tolong apa?”
“Besok temenin aku buat kaos yang sama ya. Please……”
“Hah?! Maksudmu. . . Emang seberapa pentingnya sih tu kaos?”
“Penting banget, Cha. Kaos itu kostum buat lomba, Cha. Sumpah deh, oon banget aku tuh. Aku ngerasa bersalah banget.”
“Hmm. Oke deh. Tapi jangan sampai telat kayak tadi lagi yaa.”
***
Siang yang panas. Bisa jadi, terik matahari siang ini bisa ngeringin cucian dalam waktu lima menit saja. Tapi, lebih tepatnya ngeringin hati Icha yang makin lama makin gersang karena kegalauannya.
“Tumben sekarang agak diem, Cha? Biasanya aja udah cengar-cengir. Kemarin, Beni jadi nembak kamu nggak?” Tanya Zia.
“Boro-boro nembak. Nanyain kabarku aja nggak sempat. Huft . . . Nanti sepulang kampus Beni ngajakin aku pergi lagi, Zi. Waktu kemarin Beni ngajak sih, aku seneng banget. Tapi kenapa sekarang aku jadi ragu ya?” Ujar Icha sambil memainkan rambutnya yang panjang dan bergelombang itu.
“Tuh kan, bener. Makanya kamu jangan kepedean dulu deh, Cha. Aku mencium bau-bau nggak serius nih dari sikapnya Beni. Ya ya ya. Walaupun dia emang pujaan hati kamu, sebaiknya kamu tetap berhati-hati. Jangan sampai kamu cuma dijadikan pelampiasan aja buat dia, Cha. Aku pernah denger dari seseorang, kalau Beni tuh sayang banget sama mantan ceweknya yang masih anak SMA itu. Tapi sayang, ceweknya itu minta putus.”
“Iya juga sih Zi. Mungkin aja Beni emang lagi kesepian. Terus, kenapa mesti ngajakin aku sih, kalau cuma mau dijadiin pelampiasan doang? Kenapa nggak dijadiin cewek barunya sekalian? Kan nanggung banget, Zi.”
“Ah. . . Kamu. Namanya juga cowok Cha. Lagian terserah dia juga lagi, mau milih siapa. Semoga aja deh firasatku ini salah. Keep your spirit buat ngedapetin hati Beni aja ya, Cha. Sebagai seorang sahabat, aku selalu dukung keputusan kamu, asalkan itu terbaik buat kamu.”
“Thank you soo much, Zia.”
***
Damn, damn, damn…What I'd do to have you…Here, here, here…(I wish you were here). Sebuah reff lagu kesukaan Icha saat ini, terdengar jelas. Ternyata, ada pesan dari Beni.
“Km dah siap blm? AKU tnggu dpn gerbng sklh”
Hati Icha semakin berdegub kencang tidak karuan. Pengen sih pergi berdua sama Beni. Tapi, apakah memang benar, Beni hanya menjadikannya sebagai pelampiasan saja? Huft. Pertanyaan itu sekarang berputar-putar di pikiran Icha. Dengan langkah gontai, Icha bergegas menuju ke gerbang kampus menemui pujaan hatinya.
“Udah siap?!” Kata Beni setibanya Icha di gerbang.
“Udah. Berangkat sekarang aja yuk.”
Icha melangkahkan kakinya dan duduk di boncengan motor Beni.
“Pegangan aja kali, Cha. Aku kalau naik motor suka ngebut. Ntar jatoh lho.”
Kata-kata barusan. Cukup membuat napas Icha berhenti sejenak. Glek…! Icha menelan ludahnya seraya memastikan apa yang didengarnya itu tidak salah.
“Beneran nggak pa-pa nih? Aku takut ada yang marah.”
“Nggak pa-pa. Nggak kan ada yang marah.”
Bersamaan dengan ucapannya yang terakhir, motor Beni pun melaju dengan kencang.
Kencangnya motor yang dipacu oleh Beni, membuat angin-angin kecil memainkan rambut Icha yang bergelombang itu. Mengibas-ngibas tak beraturan. Kehangatan yang dirasakan Icha melebur dalam pelukan ke pujaan hatinya. Tak pernah terbayangkan sebelumnya di benak Icha untuk bersama dengan Beni sedekat ini. Setiba di tempat yang dimaksud, keduanya turun dari motor dan masuk menuju tempat itu.
“Masih siang nih, Cha. Makan dulu yuk.” Ajak Beni.
“Hah?! Sekarang? Berdua?”
“Ya iyalah. Masa bertiga. Emang mau sama siapa lagi, nggak mungkin juga kan motorku ikutan makan.”
“Hehe. . . iya juga sih. Ternyata kamu orangnya lucu juga ya. Kalu gitu, makan di tempat biasa aku makan aja yuk.”
“Oke”
Icha terpana. Senyum bahagia merekah di wajah Icha. Hari itu tak mungkin ia lupakan begitu saja. Icha pun semakin yakin dan menaruh harapan kepada Beni. Beni juga terlihat nyaman berada dekat Icha. Jauh dalam lubuk hati Icha mengatakan, agar saat-saat seperti ini bisa terulang kembali. Berita kedekatan mereka berdua, tak lama menyebar seantero kampus. Ada yang bilang mereka berdua sudah jadian, ada yang bilang cuma deket doang, ada juga yang bilang kalau mereka berdua cuma cari sensasi aja.
***
“Hai, Ben! Tunggu!” panggil Icha setengah berteriak. Aneh. Sikap Beni barusan tak seperti biasanya. Jelas-jelas Icha memanggilnya. Tetapi, jangankan menyahut. Sekedar nengokin kepala aja kayaknya nggak. Apa yang terjadi sesungguhnya dengan Beni? Icha mulai larut dalam kegalauan.
Sehari.
Dua hari.
Tiga hari.
Risau di hati Icha semakin berat. Beni yang tadinya sering muncul karena aktifitasnya di berbagai organisasi, sekarang sudah jarang terlihat. Teman-teman dekat Beni pun sekarang juga jarang melihatnya. Hanya ada saat kuliah, selepas itu entah hilang kemana. Waktu luang menunggu kuliah selanjutnya pun dia mengilang. Pernah melintas di pikiran Icha, jangan-jangan Beni adalah jelmaan drakula atau sejenisnya. Tapi, adalah hal bodoh jika Icha berani mengatakannya. Lalu, dimana Beni?
Kuliah hari ini usai. Sengaja Icha bergegas menuju gerbang kampus, berharap bisa bertemu pujaan hatinya. Benar saja, tak lama setelah itu Beni lewat di depan mata Icha.
“BEN! Tunggu!”
“Ya, Cha. Kenapa?” beni langsung menghentikan laju motornya.
“Kamu kemana aja sih? Jarang keliatan di kampus. Di sms juga nggak pernah dibales.” Tanya Icha agak sebel.
“Nggak pa-pa, Cha. Lagi ada sedikit urusan aja. Oh iya maaf, kemarin aku nggak sempat membalas sms darimu yang berkali-kali itu. Kamu kangen ya?”
Mendadak wajah Icha berubah. Icha terlihat agak sedikit gelagapan dengan apa yang dikatakan Beni barusan. Karena Icha memang merindukan Beni.
“Emm… Ng… Nggak kok. Cuma nanya aja. Kamu sih… susah banget dihubungin. Anak-anak pada nanyain tau!”
“Hehehe… calon artis emang susah dihubungi, Cha. Oke, aku mau pulang dulu ya. Bye…, Cha.”
“Bye, Ben.” Sahut Icha bersamaan dengan perginya Beni, melesat jauh meninggalkannya.
Tiba-tiba terdengar suara melengking dari arah belakan Icha. Huft, merusak suasana saja. Icha langsung menoleh ke belakang, dan ternyata itu Zia.
“Please deh Cha. Kayaknya kamu emang harus ngelupain Beni sekarang.” Kata Zia.
“Aku nggak ngerti maksud kamu Zi. Katamu, kamu akan selalu dukung keputusanku.”
“Asalkan itu baik buatmu, Cha. Tapi yang kali ini nggak. Beni nggak pantes buat kamu. Kamu terlalu baik buat dia, Cha.”
“Aku masih nggak ngerti, Zi. Apa alasanmu melarangku? Jangan karena aku suka dengan Beni, terus kita jadi musuhan Zi. Kamu suka ya sama Beni?”
“Nggak Cha. Nggak mungkin aku mengkhianati sahabatku sendiri. Sekarang coba kamu lihat catatan di facebook Beni.
Seketika itu juga Icha mengeluarkan laptopnya dan membuka facebook. Alangkah terkejutnya Icha saat membaca yang dikatakan Zia tadi. Seperti ada yang menusuk hatinya, setelah itu dikoyak-koyak sehingga hati itu luluh lantak. Dan yang paling parahnya lagi, tulisan itu bukan untuk Icha.
Kok aku merasa nggak dianggap sama kamu. Aku mau selalu ada  disaat kamu butuh tapi nggak bisa. Aku coba selalu dekati, juga tetap tak bisa. Kalau memang ada yang salah, aku harap kamu jujur kepadaku. Jika ada yang harus aku rubah dari sikapku, kumohon bicara padaku. Tapi jangan sampai kau mempermainkanku. Aku memang terlihat tegar & selalu ceria. Karena hanya dengan itu aku bisa menghilangkan kesepian saat kau tak ada di sampingku. Aku hanya menunggu sms darimu aja susah banget. Aku emang tukang ngeluh. Emang sih, cowok harus ngertiin cewek. Tapi cowok ada kalanya pengen dimengerti.
Aku susah ngelupain kamu. Aku pernah deket cewek lain, tapi hanya ku anggap teman. Walaupun cewek itu maunya jadi cewekku. Tapi aku udah mentok di kamu Verda Ayunda.
Kamu memang cantik, imut, manis dan pinter bikin aku cemburuan. Yang jelas aku ngerasa bahagia di dekatmu. Walapun aku bisa bertemu dengan kamu, tapi itu jarang. Sebulan sekali aja udah beruntung banget. Inget janjimu dulu? Ahh tapi kamu pelupa banget. Pengen aku tulis di jidatmu yang lebar itu pakai spidol biar kamu inget.
Kamu tu aneh. Aku cuma mau bantuin kamu tapi kenapa nggak boleh? Padahal aku bisa bantu orang lain, giliran kamu, kok nggak bisa? Apa salahku sampai terjebak dalam hal seperti ini. Selalu gagal dalam masalah cinta, cewek dan sejenisnya. Aku gak bisa bedain sayang, suka, cinta, kasih sayang & kata-kata sejenis. Perlu banyak kursus tentang itu.Ibarat kata nih ya, aku udah kehabisan jalan. Sampai di ujung jurang tinggal terjun aja ke situ. Mati aja sana, Ben!
Pernah aku berpikir buat lari dari kamu. Tapi ada sesuatu yang menahanku untuk tetap diam menunggumu & mencoba mendapatkan dirimu kembali seperti saat pertama kita berjumpa dulu. Ver, aku ingin katakan kepadamu “Mau gak kamu jadi pendamping hidupku, bukan hanya jadi pacarku” Tapi entah kapan aku bisa mengucapkannya.
Semoga penantian aku selama ini nggak sia-sia. Kamu segalanya bagiku setelah keluargaku. Kamu adalah cinta pertama dan semoga jadi yang terakhir. Itu yang kumau, semoga kamu tau isi hatiku Ver. Maaf bukannya cengeng. Tapi kata temenku nggak boleh mendem unek-unek. Kalau unek-unek dipendem tuh jadi jerawat, bisa juga bisul. Ya jangan dong, tambah lengkap aja penderitaanku. Keep spirit moga masa depan menanti.
Sikap Beni akhir-akhir ini dan catatannya cukup membuat perasaan Icha sangat sedih. Icha mulai mengerti bahwa Beni tak benar-benar mencintainya. Mulai saat itu, rasa cinta dalam hati Icha seketika berubah menjadi benci. Icha berusaha menghilangkan semua kenangan dan bayang-bayang Beni dari memorinya. Sedikit menyesali telah membuang waktunya hanya untuk mencintai Beni, yang jelas-jelas sama sekali tidak mencintainya. Kini Icha larut dalam kebenciannya. Semua yang pernah dia lakukan bersama Beni hanya dianggap angin lalu. Seakan-akan Icha masuk dalam permainan Beni untuk menjatuhkannya. Sepertinya Beni tahu jika Icha begitu mencintainya sehingga Beni mempermainkan perasaan Icha.
***
Sebulan berlalu setelah kejadian itu. Pagi ini, tidak sengaja Icha yang saat itu sedang menuju ruang dosen bersama Zia, berpapasan dengan Beni. Tiba-tiba dengan ramah Beni menyapa.
“Hey, Cha. Kemana aja nggak pernah kelihatan?”
“Terus,,, masalah buat lo?!” Sahut Icha jutek sambil sedikit terkekeh.
“Kok kamu judes sih sekarang sama aku?” tanya Beni heran.
Tanpa berkata apapun Icha dan Zia meninggalkan Beni. “Baru nyadar kalau aku jutek sama kamu? Tanpa kata maaf  kamu mendekatiku lagi, setelah apa yang kau lakukan kemarin? Sekarang tidak lagi! Aku benci kamu Ben.” Gumamnya dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar